Selasa, 28 Januari 2020

CERPEN - IMPIAN DIANA

A STORY BY MACHASHW
Diana duduk termenung menatap geografi desa dari atas bukit belakang sekolah. Ia sedikit miris melihat kemiskinan yang masih merajai desa kelahirannya tersebut. Matanya kemudian melirik sepatu bututnya yang kusam, lihatlah, itu sebagian kecil dari bukti nyata kemiskinan di desanya.

Padahal tahun telah berganti, kemajuan zaman semakin terlihat, tetapi tetap saja desanya tertinggal jauh. Ini membuat hati kecilnya merasa iba dan berontak. Ia ingin melakukan sesuatu untuk desa tercintanya, setidaknya membuat desa yang tersembunyi di balik bukit itu menjadi perhatian pemerintah setempat.

“Memikirkan sesuatu, Din?” Winni sahabat karibnya menepuk bahu Diana dan membuat lamunan gadis belasan tahun itu buyar seketika.

“Sedikit,” jawab Diana singkat.

“Mau berbagi?”

Diana tersenyum tipis. “Bagaimana menurutmu desa kita ini?”

“Menurutku ya begini-begini saja, Din. Kau bisa lihat sendiri.”

“Apa kau tidak merasa bahwa desa ini telah jauh tertinggal dari desa-desa tetangga?”

“Kurasa sedikit, tetapi mau bagaimana lagi? Memang begini adanya, Din.”

Diana menoleh untuk melihat ekspresi Winni. “Apa kau mempunyai pemikiran yang sama?”

“Maksudnya?” tanya Winni tak mengerti.

“Menurutmu kita bisa mengubah desa ini menjadi lebih baik. Bagaimana?”

Winni tertawa setelah mendengar perkataan Diana. Menurutnya itu sedikit tidak masuk akal. “Din … Din … ada-ada saja kau ini, kau pikir kita mempunyai daya untuk melakukan hal sebesar itu? Kita masih anak Sekolah Menengah Pertama, bisa apa?”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau berusaha, Win.”

“Masalahnya lihat kenyataan sekarang ini, Din. Aku bukannya mau menghancurkan pemikiran baikmu.”
Diana meringis membenarkan perkataan Winni. Ia kembali tertunduk lesu. Ada banyak hal yang harus ia sadari.

“Maaf, Din,” ucap Winni dengan rasa bersalah.

Diana menggeleng. “Kau benar, aku berharap terlalu tinggi.”

Winni terdiam sejenak, tidak lama kemudian ia terlonjak, teringat akan sesuatu yang membuatnya menyusul Diana ke bukit. Hampir saja ia lupa. “Tidak perlu hal besar untuk sebuah kemajuan, Din. Cukup hal kecil, namun membanggakan. Yehaaa ...!” Winni melonjak kegirangan dengan tangan sebelah yang terkepal dan terangkat ke atas.

“Kenapa, Win?” tanya Diana penasaran.

“Aku lupa menyampaikan sesuatu. Ibu Susi memberiku formulir lomba puisi, sepertinya kau cocok untuk mengikutinya.”

Diana berdiri tergopoh-gopoh. “Kau tidak sedang berbohong, kan?”

“Sumpah, Din. Kambing bapakku sakit perut kalau aku berdusta. Ini kesempatanmu untuk mengenalkan desa ini, kau pasti tahu tema apa yang harus kau angkat, kan?” tanya Winni berseri-seri saat dilihatnya ada harapan di mata sahabatnya itu.

“Aaaaaa ... aku tahu, Win!” seru Diana girang. Ia melonjak kemudian memeluk Winni. “Kau sahabat terbaikku, Win.”

“Aku tahu itu.” Kedua sahabat itu berpelukan sambil berteriak-teriak kegirangan.

***

“Aduh, Din. Aku gugup sekali,” bisik Diana pada Winni yang duduk di sampingnya.

Winni tersenyum sambil mengelus tangan Diana. “Kau pasti bisa, Din. Ini kesempatan kita, lihat ada pak Bupati di sana yang ikut hadir, mereka datang jauh-jauh ke desa kita cuma untuk menyaksikan acara ini, biarkan apa yang isi hatimu katakan mengalir begitu saja.”

Diana menarik napas kemudian berdoa dalam hati, semoga yang ia harapkan berjalan sesuai harapan.
“ADINDA DIANA PUTRI! Dipersilakan untuk maju ke depan dan membacakan puisi karyanya sendiri!” seru Kades dengan bangga. Dia membuka matanya, ada keyakinan di sana.

Sebelum maju, Diana kembali menatap Winni. Winni mengangguk seraya tersenyum menguatkan. Dengan langkah mantap, Diana maju ke depan, disaksikan oleh puluhan pasang mata. Ada ibu dan adik-adiknya juga di sana, ia kembali termotivasi.

“Ehemmm … baiklah, sebelumnya saya ucapkan terima kasih pada seluruh hadirin yang menyempatkan diri untuk acara hari ini, perkenalkan nama saya Adinda Diana Putri, biasa dipanggil Dinda atau Din oleh orang-orang terdekat saya. Hari ini, betapa bangganya saya berdiri di sini, ini impian saya dan ini adalah harapan saya untuk semuanya;

Diana mulai membacakan puisi yang telah ia buat sejak jauh-jauh hari, judulnya “SEPETAK TANAH LELUHUR”.

Ini hanya ungkapan asa gadis desa;
Menapak butala memanggul cita-cita.
Merangkak menaiki puncak bukit.
Terbasuh peluh dia kembali bangkit.

Matanya memicing dari atas sana.
Bertanya-tanya pada sang rudra.
Sepatu pantofel kapankah bertamu?
Desa gadis ini rindu akan temu.

Berkenankah singgah sejenak berbagi keluh?
Barter ilmu dan panen biar ringan mengayuh.
Harapnya sedikit untuk kau sentuh.
Sepetak tanah leluhur yang masih kumuh.

Diana mengakhiri puisinya diiringi tepuk tangan gemuruh warga desa serta bapak bupati yang hadir di sana. Winni sampai bersiul-siul dengan mata berkaca-kaca, ia bertepuk tangan bangga. Diana tidak bisa menahan luapan kebahagiaan, ia merasa telah berhasil menyampaikan harapannya lewat kiasan puisi. Air mata mengalir dari sudut matanya, ia berjanji dalam hatinya, setelah hari ini, ia akan terus melakukan kebanggaan kecil untuk desanya.

Dunia ini adalah milik mereka yang benar-benar tulus berjuang untuk hidup lebih baik.

-TAMAT-