A STORY BY MACHASHW
Diana
duduk termenung menatap geografi desa dari atas bukit belakang sekolah. Ia
sedikit miris melihat kemiskinan yang masih merajai desa kelahirannya tersebut.
Matanya kemudian melirik sepatu bututnya yang kusam, lihatlah, itu sebagian
kecil dari bukti nyata kemiskinan di desanya.
Padahal
tahun telah berganti, kemajuan zaman semakin terlihat, tetapi tetap saja desanya
tertinggal jauh. Ini membuat hati kecilnya merasa iba dan berontak. Ia ingin
melakukan sesuatu untuk desa tercintanya, setidaknya membuat desa yang
tersembunyi di balik bukit itu menjadi perhatian pemerintah setempat.
“Memikirkan
sesuatu, Din?” Winni
sahabat karibnya menepuk bahu Diana dan membuat lamunan gadis belasan tahun itu
buyar seketika.
“Sedikit,”
jawab Diana singkat.
“Mau
berbagi?”
Diana
tersenyum tipis. “Bagaimana menurutmu desa kita ini?”
“Menurutku
ya begini-begini saja, Din. Kau bisa lihat sendiri.”
“Apa
kau tidak merasa bahwa desa ini telah jauh tertinggal dari desa-desa tetangga?”
“Kurasa
sedikit, tetapi mau bagaimana lagi? Memang begini adanya, Din.”
Diana
menoleh untuk melihat ekspresi Winni. “Apa kau mempunyai pemikiran yang sama?”
“Maksudnya?” tanya Winni tak mengerti.
“Menurutmu
kita bisa mengubah desa ini menjadi lebih baik. Bagaimana?”
Winni
tertawa setelah mendengar perkataan Diana. Menurutnya itu sedikit tidak masuk
akal. “Din … Din … ada-ada saja kau ini, kau pikir kita mempunyai daya untuk melakukan hal sebesar itu? Kita masih
anak Sekolah Menengah Pertama, bisa apa?”
“Tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau berusaha, Win.”
“Masalahnya
lihat kenyataan sekarang ini, Din. Aku bukannya mau menghancurkan pemikiran
baikmu.”
Diana
meringis membenarkan perkataan Winni. Ia kembali tertunduk lesu. Ada banyak hal
yang harus ia sadari.
“Maaf,
Din,” ucap Winni dengan rasa bersalah.
Diana
menggeleng. “Kau benar, aku berharap terlalu tinggi.”
Winni
terdiam sejenak, tidak lama kemudian ia terlonjak, teringat akan sesuatu yang
membuatnya menyusul Diana ke bukit. Hampir saja ia lupa. “Tidak
perlu hal besar untuk sebuah kemajuan, Din. Cukup hal kecil, namun
membanggakan. Yehaaa ...!” Winni melonjak kegirangan dengan tangan sebelah yang terkepal dan terangkat ke atas.
“Kenapa, Win?” tanya Diana penasaran.
“Aku
lupa menyampaikan sesuatu. Ibu Susi memberiku formulir lomba puisi, sepertinya
kau cocok untuk mengikutinya.”
Diana
berdiri tergopoh-gopoh. “Kau tidak sedang berbohong, kan?”
“Sumpah, Din. Kambing bapakku sakit perut kalau aku berdusta. Ini kesempatanmu untuk mengenalkan desa ini, kau pasti tahu
tema apa yang harus kau angkat, kan?” tanya Winni berseri-seri saat dilihatnya
ada harapan di mata sahabatnya itu.
“Aaaaaa ... aku
tahu, Win!” seru Diana girang. Ia
melonjak kemudian memeluk Winni. “Kau sahabat terbaikku, Win.”
“Aku
tahu itu.” Kedua
sahabat itu berpelukan sambil berteriak-teriak kegirangan.
***
“Aduh,
Din. Aku gugup sekali,” bisik Diana pada Winni yang duduk di sampingnya.
Winni
tersenyum sambil mengelus tangan Diana. “Kau pasti bisa, Din. Ini kesempatan
kita, lihat ada pak Bupati di sana yang ikut hadir, mereka datang jauh-jauh ke
desa kita cuma untuk menyaksikan acara ini, biarkan apa yang isi hatimu katakan
mengalir begitu saja.”
Diana
menarik napas kemudian berdoa dalam hati, semoga yang ia harapkan berjalan
sesuai harapan.
“ADINDA
DIANA PUTRI! Dipersilakan untuk maju ke depan dan membacakan puisi karyanya
sendiri!” seru Kades dengan bangga. Dia membuka matanya, ada keyakinan di sana.
Sebelum maju, Diana
kembali menatap Winni. Winni mengangguk seraya tersenyum menguatkan. Dengan
langkah mantap, Diana maju ke depan, disaksikan oleh puluhan pasang mata. Ada
ibu dan adik-adiknya juga di sana, ia kembali termotivasi.
“Ehemmm … baiklah,
sebelumnya saya ucapkan terima kasih pada seluruh hadirin yang menyempatkan
diri untuk acara hari ini, perkenalkan nama saya Adinda Diana Putri, biasa dipanggil
Dinda atau Din oleh orang-orang terdekat saya. Hari ini, betapa bangganya saya
berdiri di sini, ini impian saya dan ini adalah harapan saya untuk semuanya;
Diana
mulai membacakan puisi yang telah ia buat sejak jauh-jauh hari, judulnya “SEPETAK
TANAH LELUHUR”.
Ini hanya ungkapan asa gadis desa;
Menapak butala memanggul cita-cita.
Merangkak menaiki puncak bukit.
Terbasuh peluh dia kembali bangkit.
Matanya memicing dari atas sana.
Bertanya-tanya pada sang rudra.
Sepatu pantofel kapankah bertamu?
Desa gadis ini rindu akan temu.
Berkenankah singgah sejenak berbagi keluh?
Barter ilmu dan panen biar ringan mengayuh.
Harapnya sedikit untuk kau sentuh.
Sepetak tanah leluhur yang masih kumuh.
Diana mengakhiri puisinya diiringi tepuk
tangan gemuruh warga desa serta bapak bupati yang hadir di sana. Winni sampai
bersiul-siul dengan mata berkaca-kaca, ia bertepuk tangan bangga. Diana tidak bisa menahan luapan
kebahagiaan, ia merasa telah berhasil menyampaikan harapannya lewat kiasan
puisi. Air mata mengalir dari sudut matanya, ia berjanji dalam hatinya, setelah
hari ini, ia akan terus melakukan kebanggaan kecil untuk desanya.
Dunia ini adalah milik mereka yang
benar-benar tulus berjuang untuk hidup lebih baik.
-TAMAT-